LENSA.TODAY, -(KABGOR)- Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait potensi kerugian pendapatan daerah senilai ratusan juta di Kabupaten Gorontalo menjadi potret buram pengelolaan pajak daerah yang masih jauh dari kata ideal.
Empat perusahaan tambang diketahui telah melakukan aktivitas pengambilan material Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) sepanjang tahun 2024, namun belum menyetorkan kewajiban pajaknya ke kas daerah. Ini bukan soal celah hukum, melainkan kelemahan mendasar dalam tata kelola dan pengawasan.
Diduga Sampai saat ini, belum ada pendataan usaha tambang secara menyeluruh. Tanpa data yang solid, penetapan dan pemungutan pajak tentu tak akan berjalan. Kondisi ini diperparah dengan minimnya sumber daya manusia (SDM) pemeriksa pajak, yang menyebabkan pengawasan tidak maksimal.
Ketidaksiapan birokrasi terlihat jelas, bahkan rencana pelatihan SDM baru akan dilaksanakan pada 2025. Ini menunjukkan betapa strategisnya sektor pertambangan, namun ironisnya tidak diiringi dengan kesiapan struktural dan kebijakan.
Lebih lanjut, koordinasi yang lemah antara Pemkab dan Pemprov Gorontalo dalam menetapkan harga patokan MBLB turut memperbesar masalah ini. Tanpa dasar harga yang jelas, penentuan nilai pajak tak bisa dilakukan secara pasti. Di tengah lemahnya pengawasan pemerintah, maka tanggung jawab moral dan legal berada di tangan pelaku usaha.
Keempat perusahaan yang telah menikmati hasil bumi daerah wajib menunjukkan itikad baik dengan segera menyetorkan kewajiban pajaknya. Pajak bukan sekadar kewajiban administrasi, tetapi bentuk kontribusi nyata bagi pembangunan daerah yang mereka eksploitasi.
Jika perusahaan enggan atau terus menunda, maka seharusnya pemerintah tidak ragu mengambil langkah tegas, mulai dari teguran, penagihan resmi, hingga sanksi administratif dan hukum.
Kelonggaran yang dibiarkan hanya akan menciptakan preseden buruk dan membuka peluang penghindaran pajak secara sistematis di masa depan.
Kabupaten Gorontalo tidak bisa terus menerus kehilangan potensi pendapatan akibat kelengahan birokrasi dan ketidakpatuhan pelaku usaha. Potensi senilai hampir Rp1 miliar bukan jumlah kecil, terlebih jika diakumulasi dalam jangka panjang. Pemerintah perlu segera membenahi sistem, mempercepat digitalisasi perpajakan, memperkuat SDM, dan menjalin koordinasi lintas sektor secara efektif.
Namun demikian, langkah-langkah pembenahan ini harus dibarengi dengan komitmen dan tanggung jawab dari pihak perusahaan tambang untuk taat terhadap kewajiban fiskal mereka. Tanpa itu, pembangunan daerah akan terus dibebani oleh ketimpangan antara eksploitasi dan kontribusi.
Pajak adalah hak rakyat, dan menunaikannya adalah kewajiban semua pihak yang menikmati kekayaan daerah. (Arb)










