LENSA.TODAY, -(GORONTALO)- Gorontalo kembali dikejutkan oleh tindakan memalukan dari seorang pejabat publik. Dalam aksi damai yang digelar oleh mahasiswa dan aktivis lingkungan di depan kantor Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II, Kepala Balai Ali Rahmat menunjukkan wajah kekuasaan yang bukan hanya anti-kritik, tapi juga bersikap represif dan memalukan.
Ali Rahmat yang seharusnya tampil sebagai pelayan rakyat justru keluar dari kantornya dengan gaya premanisme, menarik salah satu orator mahasiswa yang tengah menyuarakan aspirasi rakyat pesisir Danau Limboto.

Aksi brutal ini dilakukan tanpa dialog, tanpa etika, dan tanpa rasa hormat terhadap hak konstitusional warga negara.
Andi Taufik, aktivis Gorontalo yang juga hadir dalam aksi tersebut, melontarkan kecaman keras.
“Saya sudah puluhan kali ikut aksi di depan kantor Balai Sungai. Tapi baru kali ini kami diperlakukan seperti sampah oleh pejabat negara. Kepala Balai yang dulu-dulu bahkan keluar menyambut kami dengan dialog. Tapi Ali Rahmat keluar dengan wajah marah, gaya preman, dan langsung menarik mahasiswa. Ini bukan pejabat, ini pem-bully dengan seragam negara,” ujar Andi.
Lebih lanjut, Andi menegaskan, “Kalau Ali Rahmat tidak siap dikritik, mundur saja dari jabatan. Jangan pakai fasilitas negara untuk mempertontonkan ego dan otot,” sambung Andi Taufik dengan nada Geram.
Pernyataan ini menggambarkan puncak kekecewaan rakyat terhadap pejabat yang kehilangan integritas dan empati. Ali Rahmat bukan hanya gagal memimpin, tapi juga gagal memahami posisi rakyat dalam demokrasi.
Tindakan Kepala Balai Sungai Sulaweai II Gorontalo, Ali Rahmat bukan insiden biasa. Ini adalah simbol pembusukan mental birokrasi, di mana suara rakyat diperlakukan sebagai gangguan, bukan sebagai bagian dari proses pembangunan. Ini bukan sekadar sikap kasar, tapi bentuk pelecehan terhadap nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi.
“Kepala Balai seharusnya menjadi pihak yang pertama membuka ruang dialog dan transparansi. Tetapi dalam insiden ini, ia menjadi aktor utama dalam upaya membungkam aspirasi dengan tangan kosong dan wajah angkuh,” papar Andi.
Kami ingatkan, pejabat bukan raja, dan kantor pemerintah bukan benteng kekuasaan pribadi. Jika pejabat seperti Ali Rahmat merasa terganggu oleh suara rakyat, maka ia lebih pantas duduk di ruang isolasi kekuasaan, bukan di kursi pelayanan publik.
“Ini bukan hanya soal Danau Limboto. Ini soal hak rakyat untuk bicara, dan soal betapa mudahnya kekuasaan memusuhi suara yang berbeda,” pungkasnya. (Arb)










