LENSA.TODAY, -(GORONTALO)- Pembentukan Satgas Anti-Premanisme oleh Polda Gorontalo pasca penganiayaan terhadap tiga aktivis tak lantas meredakan keresahan publik. Justru sebaliknya, langkah ini mendapat sorotan tajam dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gorontalo (BEM-UG), yang menilai kehadiran satgas tersebut berpotensi menjadi alat pencitraan semata jika tidak dibarengi dengan tindakan konkret dan transparan.
Presiden BEM-UG, Erlin Adam, menantang keseriusan Satgas yang dibentuk tersebut. Ia mengingatkan bahwa publik tidak butuh pertunjukan simbolik, melainkan kepastian hukum, rasa aman, dan perlindungan terhadap hak berekspresi.
“Satgas ini jangan sampai hanya jadi tameng pencitraan. Kalau tidak mampu mengungkap pelaku dan motif di balik penganiayaan aktivis, maka kehadirannya patut dipertanyakan,” tegas Erlin.
Penganiayaan terhadap Hidayat Musa (eks Ketua LMID), Amin Suleman (Ketua LSM GAM PG), dan Harun Lulu (Korda BEM Nusantara Gorontalo) menjadi titik api yang menyulut kemarahan publik. Kekerasan terjadi di tempat dan waktu berbeda, dengan pelaku yang hingga kini belum teridentifikasi.
Menurut Erlin, pembentukan satgas tanpa akuntabilitas justru berbahaya. Ia menilai, ini bisa menjadi cara membungkam keresahan masyarakat dengan narasi keamanan, tanpa benar-benar menyentuh akar masalah: ancaman sistematis terhadap kebebasan berpendapat.
“Kalau Satgas tidak mampu menjawab tantangan ini, maka Polda Gorontalo akan dianggap gagal menjamin hak-hak sipil dan melindungi warganya dari teror,” ujarnya.
Lebih jauh, Erlin menyebut kekerasan terhadap aktivis sebagai bentuk nyata pembungkaman yang tidak bisa ditoleransi. Ia menuntut agar negara melalui aparat penegak hukum benar-benar hadir dan tidak bermain aman di balik jargon anti-premanisme.
“Ini ujian serius. Satgas harus berani menindak, bukan hanya preman jalanan, tapi juga jika ada aktor intelektual di balik kekerasan ini. Jangan biarkan hukum tunduk pada kekuasaan atau kepentingan,” tutupnya. (***)