LENSA.TODAY, -(NASIONAL)- Dunia hukum Indonesia kembali dikejutkan oleh aksi kekerasan terhadap aparat penegak hukum. Seorang jaksa aktif, Jhon Wesli Sinaga, bersama pegawai honorer Kejari Deliserdang, Acensio Hutabarat, menjadi korban pembacokan oleh dua orang tak dikenal saat berada di kebun sawit milik pribadi Jhon Wesli, Sabtu (24/5) di Desa Perbaungan, Kecamatan Kotarih, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Menanggapi peristiwa tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo, Abvianto Syaifulloh, S.H., M.H., mengecam keras tindakan brutal tersebut. Ia menyebut serangan itu bukan sekadar tindakan kriminal, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap hukum, keadilan, dan negara hukum Indonesia.

“Penyerangan terhadap seorang jaksa adalah bentuk pelecehan terhadap institusi negara. Ini adalah ancaman nyata terhadap integritas hukum. Negara tidak boleh membiarkan kekerasan seperti ini terjadi tanpa respons keras,” tegas Abvianto.
Ia menyampaikan bahwa solidaritas dan empati mengalir dari seluruh insan Adhyaksa di Gorontalo untuk para korban. Namun lebih dari itu, menurutnya, insiden ini harus menjadi titik tolak serius untuk memperkuat sistem perlindungan terhadap jaksa.
Abvianto juga menyoroti pentingnya implementasi cepat dan menyeluruh dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan. Perpres ini lahir sebagai respons terhadap maraknya intimidasi, ancaman, dan kekerasan yang kerap dialami jaksa dalam menjalankan tugas penegakan hukum.
Berikut Pokok-pokok penting dalam Perpres 66/2025 antara lain :
• Perlindungan hukum dan fisik terhadap jaksa yang menghadapi ancaman nyata selama proses penuntutan atau penyidikan.
• Pengamanan pribadi dan keluarga jaksa, melalui kerja sama lintas lembaga seperti Polri, TNI, dan lembaga keamanan lainnya.
• Penyediaan bantuan hukum dan pendampingan psikologis bagi jaksa korban kekerasan atau tekanan.
• Penindakan tegas terhadap pelaku ancaman atau kekerasan, baik dari pihak perorangan maupun korporasi.
• Pemantauan dan evaluasi nasional oleh Kejaksaan Agung bersama kementerian terkait untuk menjamin efektivitas pelaksanaan Perpres.
“Perpres ini harus menjadi senjata perlindungan bagi jaksa, bukan hanya di atas kertas. Jaksa yang bekerja menegakkan keadilan tidak boleh dibiarkan menjadi korban tanpa perlindungan yang konkret,” tandas Abvianto.
Olehnya, Abvianto juga menyerukan agar kejadian ini menjadi momentum memperkuat solidaritas internal kejaksaan serta sinergitas antar penegak hukum. Ia menegaskan bahwa penegakan hukum tidak bisa berjalan dalam ketakutan.
“Jika satu jaksa diserang karena perkara yang ditanganinya, maka seluruh sistem hukum Indonesia ikut terluka. Ini bukan hanya soal keamanan pribadi, ini soal menjaga kedaulatan hukum negara,” imbuhnya.
Kepala Kejari Gorontalo meminta agar aparat kepolisian bergerak cepat mengungkap motif, menangkap pelaku, serta menelusuri kemungkinan adanya aktor intelektual di balik penyerangan ini.
“Aparat kepolisian segera bertindak cepat, tangkap dan cari dalang dari penyerangan ini,” tegasnya.
Terakhir, Abvianto mengatakan bahwa Kejaksaan bukan hanya institusi negara, ia adalah benteng keadilan. Ketika jaksa menjadi korban kekerasan karena menjalankan tugasnya, negara wajib hadir membela dan melindungi.
“Perpres 66 Tahun 2025 menjadi harapan baru yang harus segera diwujudkan. Karena ketika hukum ditantang dengan parang, maka negara harus menjawab dengan keberanian dan ketegasan,” pungkas Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo, Abvianto Syaifulloh, SH.,MH. (Arb)