LENSA.TODAY, -(GORONTALO)- Kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Bupati Bone Bolango, Hamim Pou, terus menjadi perhatian publik. Meskipun telah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) tahun 2011 dan 2012, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo tampaknya mengalami kesulitan dalam mengeksekusi penahanan terhadapnya.
Diketahui, Hamim Pou ditahan oleh Kejati Gorontalo pada 17 April 2024 karena diduga terlibat dalam penyalahgunaan dana bansos senilai Rp10,3 miliar. Dari jumlah tersebut, ditemukan penyaluran dana yang melebihi batas nominal sebesar Rp1,6 miliar serta distribusi dana tanpa proposal pemohon sebesar Rp152 juta.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Gorontalo, negara mengalami kerugian sebesar Rp1,7 miliar.
Mantan bupati ini dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika terbukti bersalah, ia terancam hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, proses hukum terhadap Hamim Pou berjalan lambat. Salah satu alasan utama yang digunakan untuk menghindari pemeriksaan adalah kondisi kesehatannya.
Hamim Pou berulang kali absen dari pemanggilan Kejati Gorontalo dengan alasan sakit. Hal ini menimbulkan tanda tanya di masyarakat mengenai ketegasan aparat penegak hukum dalam menangani kasus tersebut.
Dalam sebuah kuliah umum yang digelar Komisi Kejaksaan Republik Indonesia di Universitas Gorontalo pada 14 November 2024, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gorontalo, Harun Alulu, menyoroti lambatnya proses hukum Hamim Pou. Ia mempertanyakan alasan Kejati Gorontalo yang belum juga mengeksekusi Hamim Pou meskipun berkas perkaranya sudah dinyatakan lengkap (P21).
Banyak pihak menduga ada intervensi politik dalam penanganan kasus ini. Pasalnya, Hamim Pou merupakan figur berpengaruh di Gorontalo, dan sebelum ditahan, ia bahkan maju sebagai calon anggota legislatif DPR RI. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa ada upaya untuk melindungi dirinya dari jerat hukum.
Ketidakmampuan Kejati Gorontalo dalam mengeksekusi Hamim Pou juga memperlihatkan adanya kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Jika seorang tersangka dapat menghindari panggilan berkali-kali dengan alasan kesehatan tanpa pemeriksaan medis independen yang transparan, maka ini bisa menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Olehnya, Kasus Hamim Pou menjadi ujian bagi Kejaksaan Tinggi Gorontalo dalam menegakkan hukum secara adil dan transparan.
Jika benar bahwa alasan sakit digunakan sebagai tameng untuk menghindari proses hukum, maka publik berhak menuntut ketegasan dari aparat penegak hukum khusnya ketegasan dari Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo.
Karena sesungguhnya, transparansi, akuntabilitas, dan keberanian dalam menindak pelaku korupsi harus menjadi prioritas agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum tetap terjaga.
Masyarakat Gorontalo dan Indonesia pada umumnya menanti langkah tegas dari Kejati Gorontalo. Apakah kasus ini akan terus berlarut-larut, atau akhirnya Hamim Pou benar-benar dihadapkan pada proses hukum yang seharusnya ia jalani? (Arb)