LENSA.TODAY, -(OPINI)- Reformasi birokrasi mendorong perubahan ke arah yang lebih efisien dan profesional. Namun ironisnya, dalam semangat perubahan itu, justru muncul praktik-praktik yang menyalahi logika organisasi, etika pemerintahan, bahkan tatanan moral birokrasi. Salah satu yang kini menjadi sorotan adalah pemberian kewenangan kepada oknum pejabat eselon III untuk mengevaluasi pejabat eselon II atasannya langsung.
Ini bukan sekadar soal teknis administratif. Ini menyangkut martabat dan legitimasi profesional. Ketika seorang sekretaris dinas merasa berhak menilai kinerja kepala dinas, yang muncul bukan perbaikan sistem, melainkan pelecehan terhadap struktur birokrasi itu sendiri. Apalagi jika penilaian itu dilandasi oleh kepentingan politik, ambisi pribadi, atau bahkan sakit hati personal.
Dalam organisasi manapun, struktur itu fondasi. Eselon III bukan dibuat untuk menilai eselon II, sebagaimana staf tidak didesain untuk mengevaluasi manajer puncak. Jika hal ini terus dibiarkan, maka kita sedang membuka pintu bagi kekacauan institusional yang sistemik.
Sayangnya, oknum pejabat eselon III tersebut lupa diri. dirinya seolah kehilangan kesadaran akan posisi dan batas perannya dalam organisasi. Dengan dalih reformasi, dirinya merasa legitimasi moral dan profesionalnya setara dengan pimpinan. Padahal pengalaman, tanggung jawab, dan kontribusi antara keduanya jelas tidak bisa disejajarkan begitu saja.
Ini bukan tentang menghambat perubahan. Tapi tentang menjaga agar perubahan tetap berada dalam koridor etik dan profesional. Evaluasi kinerja harus tetap dilakukan tapi bukan oleh mereka yang punya konflik kepentingan, rasa tidak hormat, atau sekadar ambisi naik jabatan.
Mari kita ambil analogi sederhana, dalam dunia militer, seorang sersan tidak pernah menilai seorang kolonel. Bahkan dalam dunia fiksi seperti desa ninja Konoha pun, seorang chunin tidak diberi kewenangan untuk mengaudit atau mengomentari strategi seorang jonin. Bukan karena mereka tidak punya hak bicara, tapi karena sistem membutuhkan ketertiban dan penghormatan terhadap hierarki agar tetap solid dan berfungsi.
Jika oknum eselon III merasa berhak menilai eselon II, pertanyaan yang muncul adalah dari mana legitimasi moral dan profesional mereka berasal? Apakah pengalaman yang cukup? Apakah rekam jejak kepemimpinan yang setara? Ataukah hanya karena diberikan celah oleh kebijakan multitafsir yang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu?
Lebih jauh, hal ini mencerminkan krisis kepemimpinan yang kronis dalam birokrasi kita. Ketika pejabat level menengah merasa lebih tahu, lebih pantas, dan lebih benar daripada pemimpinnya sendiri, maka yang terjadi adalah pembusukan dari dalam. Birokrasi tidak lagi bekerja sebagai sistem, tapi berubah menjadi arena saling menjatuhkan.
Evaluasi memang penting. Tapi mari kita perjelas, penting bagi siapa, dan dilakukan oleh siapa. Bila tidak dilakukan dengan benar, evaluasi justru menjadi alat politik murahan yang menjatuhkan orang-orang berintegritas demi memberi ruang bagi mereka yang ambisius tapi tidak punya kapasitas.
Kini saatnya negara menertibkan. Bukan sekadar prosedur, tapi cara berpikir dan cara bekerja. Jika tidak, birokrasi akan menjadi ladang intrik, bukan tempat pelayanan publik. Dan publik, cepat atau lambat, akan kehilangan kepercayaan pada sistem yang tidak bisa menjaga tata etik internalnya sendiri. (Arb)