LENSA.TODAY, -(GORONTALO)- Suasana pergerakan mahasiswa dan aktivis sipil di Gorontalo kembali memanas usai tindakan kontroversial yang dilakukan oleh Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II, Ali Rahmat, dalam menghadapi aksi damai mahasiswa yang menyoroti persoalan masyarakat pesisir danau limboto.
Aksi yang berlangsung damai itu justru direspons dengan intimidasi, penarikan massa, dan sikap arogansi yang dinilai mencoreng nilai-nilai demokrasi.

Menanggapi insiden tersebut, mantan Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Gorontalo, Man’ut Ishak mengecam keras tindakan Kepala BWS dan menyerukan konsolidasi besar-besaran di kalangan aktivis mahasiswa dan masyarakat sipil.
“Kita tidak boleh diam. Ini bukan hanya soal satu aksi atau satu pejabat. Ini tentang bagaimana kekuasaan dipertontonkan dengan cara paling kasar dan tidak etis di depan rakyat. Kepala BWS telah melecehkan demokrasi. Saya menyerukan kepada seluruh aktivis kampus dan gerakan sipil untuk satu suara, kecam dan lawan tindakan ini!” tegas Man’ut kepada wartawan, Kamis (9/10/2025).
Lebih lanjut, Ardiansyah menilai bahwa tindakan Ali Rahmat bukan hanya bentuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga gejala krisis moral dalam birokrasi.
“Kita sedang menghadapi fenomena pejabat yang kehilangan empati, menganggap rakyat sebagai musuh, bukan tuan yang harus dilayani. Kalau ini dibiarkan, kita sedang membiarkan wajah negara menjadi wajah penindasan,” lanjutnya.
Ia juga mengultimatum bahwa jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas untuk mencopot Kepala BWS Sulawesi II dan memberikan klarifikasi terbuka, maka aksi-aksi lanjutan akan digelar dengan skala yang lebih besar.
“Kami beri waktu. Jika dalam waktu dekat tidak ada sikap dari Kementerian PUPR, maka kami akan konsolidasi gerakan rakyat dan mahasiswa di Gorontalo untuk aksi berjilid. Ini bukan ancaman, ini bentuk tanggung jawab moral terhadap demokrasi,” tegasnya.
Man’ut menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa negara tidak kekurangan pejabat, tetapi yang dibutuhkan adalah pejabat yang punya hati dan nurani.
“Negara ini bisa berjalan tanpa Ali Rahmat. Tapi demokrasi tidak bisa hidup kalau kita biarkan arogansi menguasai birokrasi,” pungkasnya. (Arb)








