LENSA.TODAY, -(KABGOR)- Gelombang kritik terhadap penyelenggaraan kegiatan Pramuka di Kabupaten Gorontalo kian memuncak, menyusul beredarnya Surat Keputusan (SK) Ketua Kwartir Cabang yang secara terang-terangan menempatkan Sekretaris Daerah (Sekda) dan sejumlah pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebagai Liaison Officer (LO) dalam kegiatan Peran Saka Nasional 2025.
SK tersebut langsung menuai sorotan tajam. Pasalnya, penunjukan pejabat struktural sebagai LO bukan hanya dianggap tidak etis, tetapi juga dituding sebagai bentuk intervensi kekuasaan ke dalam tubuh organisasi kepanduan yang seharusnya bersifat mandiri dan bebas dari muatan politis.
Penempatan pejabat seperti Sekda dan kepala dinas sebagai LO memunculkan tanda tanya besar, untuk kepentingan siapa sebenarnya kegiatan Pramuka ini digelar? Apakah untuk pembinaan generasi muda, atau sebagai panggung baru pencitraan birokrasi daerah?
“Ini sangat memalukan dan mencederai semangat Pramuka. Apakah anak-anak harus diarahkan dan dikawal langsung oleh pejabat? Fungsi LO ini jelas berlebihan dan tidak proporsional. Ada apa di balik semua ini?” Ujar Arif. Jumat, (17/10/2025).
Tak hanya soal penempatan pejabat, dugaan eksploitasi terhadap anak-anak Pramuka semakin menguat. Pasca keluarnya kritikan terhadap SK, terlihat adanya pernyataan anak-anak Pramuka yang digiring dalam narasi mendukung kebijakan pemerintah dan meredam kritik terhadap SK itu sendiri.
“Alih-alih memperkuat pendidikan karakter dan nasionalisme, kegiatan Pramuka justru berubah menjadi alat pembenaran keputusan. Mereka yang mempertanyakan SK tersebut malah dibungkam dengan retorika “loyalitas terhadap organisasi,” kata Arif Rahim.
Gerakan Pramuka, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, adalah organisasi independen yang berlandaskan pendidikan non-formal untuk membentuk karakter, bukan alat politik atau birokrasi. Penempatan pejabat daerah sebagai LO oleh Ketua Kwarcab sangat berpotensi melanggar prinsip dasar ini.
Lebih buruk lagi, jika LO tersebut bukan sekadar pendamping teknis, tapi berperan dalam mengontrol arah kegiatan, mengarahkan narasi, atau memanipulasi kegiatan demi meredam kritik, maka hal ini tak hanya tidak etis, tetapi berbahaya secara sistemik. Surat Keputusan Ketua Kwartir Cabang yang menjadikan pejabat tinggi sebagai LO adalah preseden buruk dalam sejarah Pramuka.
“Jika dibiarkan, praktik ini akan mempercepat runtuhnya kepercayaan publik terhadap independensi organisasi kepramukaan dan lebih parah lagi, menjadikan anak-anak sebagai tameng untuk melindungi para generasi tuanya. Pramuka bukan alat politik. Bukan alat kekuasaan. Bukan tameng citra pejabat,” pungkasnya. (Arb)










