LENSA.TODAY, -(OPINI)- Di setiap ujung kontestasi politik, kemenangan bukanlah titik akhir, tapi justru awal dari babak yang lebih menentukan. Di sinilah dua kutub kekuasaan muncul dan bersaing dalam sunyi yakni tim kerja dan tim pemenangan. Yang satu merasa paling berhak karena kompetensi, yang satu merasa punya legitimasi karena kontribusi. Keduanya seolah berada di sisi yang sama, tapi dalam praktiknya, sering saling menjegal.
Tim pemenangan datang dengan luka-luka perjuangan, mereka menyusuri lorong-lorong kampung, membakar semangat massa, menjual mimpi-mimpi besar, dan menjaga bara harapan rakyat. Tak sedikit dari mereka yang merogoh kocek pribadi, mempertaruhkan reputasi, bahkan keamanan.
Tapi apa yang mereka dapat setelah kemenangan? Sebuah dinding bernama “profesionalisme” yang sering kali menjadi tameng dari tim kerja.
Di balik jargon efisiensi, akuntabilitas, dan good governance, tim kerja sering menjelma menjadi benteng eksklusif kekuasaan, yang hanya bisa diakses oleh mereka yang “berdarah birokrasi.” Mereka bicara soal meritokrasi, tapi mengabaikan kontribusi politik. Mereka mengaku teknokrat, tapi tak jarang punya agenda sendiri mengamankan jabatan, memperpanjang pengaruh, dan menjaga jaringan lama yang tidak pernah benar-benar loyal pada pemimpin baru.
Ironisnya, mereka sering memblokir aspirasi dari tim pemenangan dengan alasan prosedur, padahal yang sesungguhnya dijaga adalah status quo yang nyaman. Ketika permintaan jabatan datang dari tim pemenangan, tim kerja menyebutnya “bagi-bagi kue.” Tapi ketika mereka merekomendasikan kolega sendiri yang tak pernah berkeringat di lapangan itu disebut “penempatan orang yang kompeten.”
Apa yang salah jika tim pemenangan meminta posisi? Bukankah mereka yang telah bertaruh saat semuanya masih gelap? Haruskah loyalitas dibalas dengan sinisme? Kenapa kontribusi politik diperlakukan seperti dosa, sementara kemapanan birokrasi dijadikan suci?
Lebih parah lagi, banyak tim kerja justru menjadi rem bagi perubahan. Mereka tak punya keberanian mengeksekusi ide-ide progresif karena terlalu nyaman dengan SOP lama. Mereka alergi inovasi karena tak ingin mengusik struktur yang menopang posisi mereka. Mereka menuntut kepercayaan, tapi tak punya semangat yang sama seperti mereka yang dulu berjuang merebut kekuasaan.
Padahal rakyat tidak memilih pemimpin untuk dijebak dalam labirin birokrasi. Mereka memilih karena janji perubahan janji yang diciptakan oleh tim pemenangan, bukan tim kerja. Maka sudah seharusnya, tim kerja menjadi pelaksana mandat politik, bukan penghambatnya.
Dalam negara demokratis, legitimasi politik tak boleh kalah oleh kekuasaan administratif. Tim pemenangan bukan sekadar pelengkap, mereka adalah fondasi dari mandat itu sendiri. Dan ketika tim kerja menjauh dari semangat itu, mereka bukan sedang menjaga daerah mereka sedang menghianatinya secara halus.
Pertarungan antara harapan dan isi tas tak pernah benar-benar usai. Tapi harapan tak selamanya suci, dan isi tas tak selalu kotor. Kadang, isi tas itulah yang menghidupi perjuangan panjang, yang tak pernah dihargai oleh mereka yang hanya tahu duduk di balik meja.
Kemenangan harus dibayar, bukan dengan kekuasaan buta, tapi dengan pengakuan terhadap mereka yang berjasa. Dan yang paling penting adalah kekuasaan harus dikelola oleh yang punya komitmen, bukan yang hanya bisa memblokir perubahan atas nama kompetensi. (Arb)