LENSA.TODAY, -(JAKARTA)- Kasus dugaan korupsi dalam pengadaan alat kesehatan (Alkes) di Kabupaten Boalemo kian menunjukkan geliat serius. Hari ini, Kamis (21/8), Koordinator Gerakan Anti Korupsi (Gerak), Abd Wahidin Tutuna, bersama timnya, kembali hadir memenuhi undangan resmi dari Kejaksaan Agung RI.
Ini merupakan pemanggilan kedua setelah laporan awal mereka mencuatkan dugaan penyalahgunaan anggaran miliaran rupiah yang mengarah pada pihak-pihak strategis dalam pemerintahan Kabupaten Boalemo.
Selama hampir tiga jam di ruang pemeriksaan, para aktivis ini dicecar berbagai pertanyaan mendalam oleh penyidik. Materi pembahasan tidak lagi sebatas klarifikasi laporan awal. Atmosfer pemeriksaan menunjukkan Kejaksaan Agung mulai menggarap kasus ini secara serius dan sistematis.
“Kami sudah diminta menjelaskan lebih dalam. Banyak pertanyaan yang dilontarkan, tapi biarlah publik menunggu hasilnya. Karena apa yang terjadi di dalam, tidak semuanya perlu kami buka ke media,” ujar Wahidin singkat, namun sarat makna, usai keluar dari ruang pertemuan.
Pernyataan tersebut menimbulkan interpretasi luas. Apakah Kejagung telah menemukan indikasi kuat keterlibatan pihak-pihak berpengaruh? Apakah nama-nama besar mulai masuk dalam radar penyidikan?
Fokus pemeriksaan kini mengerucut pada dua pihak kunci yakni Bupati Boalemo dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pengadaan Alkes. Keduanya diyakini memegang kendali penuh dalam proses perencanaan dan realisasi anggaran. Jika pembuktian berlanjut, bukan tak mungkin keduanya akan dipanggil untuk memberikan keterangan langsung, atau bahkan ditetapkan sebagai tersangka.
Laporan Gerak sebelumnya menyoroti indikasi markup anggaran, pengadaan fiktif, hingga pengkondisian pemenang tender oleh jaringan terorganisir di lingkaran kekuasaan daerah.
Dugaan ini tidak bisa dianggap remeh, mengingat nilai proyek yang disebut-sebut mencapai miliaran rupiah berasal dari dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
Langkah Kejaksaan Agung ini menjadi ujian integritas penegakan hukum di level pusat. Apakah keberanian aktivis dan kekuatan laporan sipil mampu menembus benteng kekuasaan daerah yang selama ini tak tersentuh?
Sementara itu, Boalemo kini memasuki fase rawan. Kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah kian tergerus. Desakan agar Kejagung tidak berhenti di tahap pemeriksaan awal terus menggema, baik dari aktivis daerah maupun tokoh-tokoh nasional yang menaruh perhatian terhadap kasus ini.
Satu hal yang pasti, Kejaksaan Agung kini mengarahkan matanya ke Boalemo. Dan ketika pusat mulai bergerak, tak ada aktor lokal yang bisa merasa aman di balik meja kekuasaan. (Arb)










