LENSA.TODAY, -(OPINI)- Korupsi pada saat ini menjadi sangat familiar di telinga serta dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik dan menyebabkan keterpurukan bangsa.
Masalah ini perlu dijadikan suatu hal yang harus ditanggulangi bersama dan diperangi bersama. Fenomena korupsi di Indonesia sudah menjadi berita hangat yang sering didengar dan dibicarakan. Korupsi sudah menjadi virus yang begitu parah dan akut bahkan telah menyebar di banyak sektor pemerintahan.
Kini terduga tindak pidana korupsi memiliki senjata jitu dalam upayanya untuk menghalang halangi aparat penegak hukum dalam menyelamatkan keuangan Negara. Hal yang sering dilakukan oleh terduga korupsi agar berkeliaran ditengah-tengah masyarakat adalah beralasan sakit.
Alasan sakit ini yang menjadi senjata jitu para terduga koruptor, berdalil sakit, keluarga ataupun penasehat hukum akan mengajukan surat permohonan penangguhan terhadap terduga korupsi dengan alasan akan melakukan pemeriksaan kesehatan bagi terduga korupsi.
Misalnya, diwilayah Provinsi Gorontalo telah terjadi beberapa bulan lalu ditubuh Kejaksaan Tinggi Gorontalo, ketika pihak kejaksaan telah menetapkan tersangka kepada mantan Bupati Bone Bolango sebagai tersangka pada dugaan kasus korupsi bansos, pihak kejaksaan diperhadapkan dengan surat permohonan penangguhan yang intinya tersangka tersebut akan menjalani pengobatan.
Namun apa yang terjadi, tersangka korupsi tersebut justru melakukan aktivitas politik. Hal itu dibuktikan adanya foto yang beredar dimedia sosial ketika mantan Bupati Bone Bolango sementara berada di sekretariat partai politik. Nah, mestinya ini jadi pembelajaran tersendiri bagi pihak aparat penegak hukum.
Hal yang sama juga terjadi di tubuh Mapolda Gorontalo. Ketika Mapolda Gorontalo menetapkan tersangka kepada mantan Bupati Boalemo. Usai ditetapkan sebagai tersangka, tiba-tiba publik Gorontalo di hebohkan adanya pemberitaan bahwa tersangka kasus korupsi tersebut memiliki penyakit saraf terjepit yang membuat Mapolda Gorontalo menyetujui surat penangguhannya.
Aparat Penegak Hukum saat ini dibenturkan dengan hak-hak para tersangka kasus korupsi, bahkan diduga APH dibuat tak berkutik ketika berhadapan dengan para tersangka yang memiliki kemampuan finansial. Padahal, di Negara kita saat ini, begitu banyak fakta-fakta ketika para terduga korupsi memberikan alasan sakit, namun alasan tersebut di tolak mentah-mentah oleh pihak Aparat Penegak Hukum yang pemberani.
Jika seperti ini, norma hukum serupa yang diperkirakan dapat membentengi dan menjera praktik korupsi tampaknya sudah cukup memadai. Begitu pula berbagai tawaran mekanisme yang diajukan pun cukup banyak, seolah-olah “tikus pun tidak bisa lewat”. Tetapi nyatanya, jangankan tikus, “gajah pun ternyata mampu menyusup dan merampok uang Negara”.
Persoalan ini tentu akan mengundang reaksi serta menjadi pembenaran tentang asumsi liar yang menyebutkan bahwa “Hukum Saat ini Menjadi Penyebab Lahirnya Para Penjahat Baru”.
Dengan demikian, benteng terakhir yang diandalkan dapat membendung penyakit korupsi ini tidak hanya bergantung pada banyaknya regulasi, tetapi yang paling mendasar adalah ranah moralitas, yakni moral pelaku. Karena dimensi moral seseorang menjadi wilayah kunci yang paling menentukan motivasi, pilihan, dan target suatu tindakan, termasuk tindakan korupsi.
Penulis : Redaksi Lensa Today