Oleh : Bambang Hero Saharjo
Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga Bogor 16680
LENSA.TODAY, -(NASIONAL)- Peran Kejaksaan Agung sebagai penguasa perkara atau pihak yang mengendalikan jalannya perkara pidana, kembali menjadi perbincangan, namun tidak banyak yang mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dibalik pembahasan tersebut, sehingga terkesan bahwa pihak Kejaksaan Agung bertindak otoriter dalam penanganan perkara pidana.
Padahal sesungguhnya tidak demikian, asas Dominus Litis adalah asas yang memberikan kewenangan kepada Jaksa sebagai pengendali perkara dan satu-satunya institusi yang dapat menentukan apakah suatu perkara dapat diajukan ke tahap Penuntutan atau tidak.
Dalam sistem civil law yang dianut oleh banyak negara, termasuk Indonesia, peran Dominus Litis biasanya dipegang oleh jaksa penuntut umum karena ia memiliki kewenangan melakukan penuntutan dan mengajukan perkara ke pengadilan.
Selain itu, kejaksaan diberikan kewenangan luas melakukan pengawasan terhadap proses penyidikan berdasarkan asas opportunité de poursuites atau principle of opportunity yaitu kebebasan untuk menentukan apakah suatu kasus layak untuk diajukan ke pengadilan atau tidak.
Berdasarkan dominus litis pula, Kejaksaan memiliki tugas utama menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) dengan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) ketika suatu perkara dilanjutkan atau diperiksa Pengadilan
Timbulnya perbedaan dalam penanganan perkara pidana yang diperdebatkan tersebut, sesungguhnya mulai terjadi sejak perubahan dari sistem inquisitoire, yang memberikan peran dominan kepada kejaksaan dalam Herziene Indonesisch Reglement (HIR), menjadi sistem accusatoir yang lebih membatasi kewenangan kejaksaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini berlaku.
Dengan dicabutnya HIR dan digantikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), peran kejaksaan dalam penyidikan mengalami perubahan fundamental. KUHAP menganut prinsip diferensiasi fungsional (differentiationem functionum), yang membatasi kewenangan kejaksaan hanya dalam tahap penuntutan, sementara kewenangan penyidikan secara eksklusif diberikan kepada kepolisian (monopolium investigationis).
Akibatnya, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan sendiri atau mengarahkan proses penyidikan secara langsung telah mengalami deligitimasi (delegitimatio) secara tidak langsung oleh KUHAP.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menerapkan prinsip dominus litis atau kewenangan mutlak yang diberikan kepada Instansi Kejaksaan Republik Indonesia dalam proses penanganan perkara pidana.
Hal tersebut mengakibatkan posisi jaksa selaku Penuntut Umum sebagai bagian dari Instansi Kejaksaan dipandang kurang karena hanya memeriksa secara formal berkas perkara saja, tidak mengetahui proses dari mulai Penyidikan termasukdalam penyusunan berkas perkara dan tata cara perolehan alat bukti.
Hal ini tentu saja mempunyai implementasi negative yang berujung pada seringnya terdakwa mencabut keterangannya di persidangan dan bebas, yang akhirnya menyebabkan Kejaksaan dianggap sebagai penyebabnya.
Sesungguhnya tidak ada yang perlu dikuatirkan dan diragukan lagi dengan melihat perkembangan penanganan perkara pidana saat ini yang ditangani oleh kejaksaan, bahkan nilai kepercayaan publikpun terhadap kejaksaan teratas diantara instansi penegak hukum lainnya.
Kejaksaan sebagai Dominus Litis seyogyanya memiliki kendali penuh terhadap proses penyidikan hingga penuntutan agar dapat menjamin keabsahan alat bukti serta keadilan bagi terdakwa dan korban (in dubio pro reo).
Namun, jika jaksa tetap dianggap sebagai Dominus Litis, tetapi tidak memiliki kewenangan dalam tahap penyidikan, maka perannya hanya sebatas pelengkap administratif dalam sistem peradilan pidana, bukan sebagai pengendali perkara yang sesungguhnya.
Tidak terbayangkan bila hal tersebut terjadi, maka kita akan jarang melihat pengungkapan kasus tindak pidana korupsi yang nilainya hingg ratusan triliun bisa diungkap seperti sekarang ini, tidak hanya kasus yang biasa diungkap tetapi juga terhadap pengungkapan kasus tindak pidana korupsi sumberdaya alam, yang terbukti telah terjadi berpuluh tahun yang lalu.