LENSA.TODAY, -(GORONTALO)- Dalam banyak kasus pencemaran lingkungan yang terjadi di tingkat lokal, kita sering menyaksikan Musyawarah Desa atau Kecamatan dijadikan sebagai ruang kompromi antara pelaku usaha dan masyarakat.
Dalam forum tersebut, para pihak mencoba mencapai kesepakatan bisa berupa ganti rugi, janji perbaikan lingkungan, atau bahkan kerja sama jangka panjang.
Namun, penting untuk ditegaskan bahwa Musyawarah Desa tidak memiliki kekuatan hukum untuk membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab lingkungan. Fungsi Musyawarah desa sejatinya hanya sebagai wadah mediasi sosial, bukan penyelesaian hukum formal.
Kesepakatan yang lahir dari musyawarah memang bisa menjadi langkah awal untuk meredam ketegangan dan memulihkan hubungan antara masyarakat dan pelaku usaha. Tetapi ini tidak boleh disalahartikan sebagai akhir dari persoalan hukum yang lebih besar.
Ketika terjadi pencemaran air, tanah, udara, atau kerusakan ekosistem, maka tanggung jawab hukum pelaku usaha tetap melekat, baik secara administratif, perdata, maupun pidana.
Sayangnya, ada kecenderungan di lapangan bahwa pelaku usaha menggunakan forum-forum musyawarah sebagai alat legitimasi sosial untuk menghindari sanksi hukum. Mereka merasa cukup dengan “berdamai” secara lokal, padahal kerusakan lingkungan adalah kejahatan terhadap publik dan masa depan ekologis. Negara tidak boleh abai dalam hal ini.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah sangat jelas. Pasal 90 menyatakan bahwa pemulihan lingkungan adalah kewajiban hukum, bukan pilihan. Bahkan Pasal 76 dan 77 menguatkan bahwa penegakan hukum tetap dapat dilakukan meskipun sudah ada penyelesaian non-litigasi.
Artinya, pemerintah dan aparat penegak hukum tidak bisa tinggal diam hanya karena sudah ada kesepakatan di tingkat desa. Mereka tetap berkewajiban menindak tegas jika terbukti ada pelanggaran terhadap dokumen lingkungan (AMDAL, UKL–UPL, SPPL), baku mutu lingkungan, atau izin lingkungan.
Mengandalkan musyawarah semata untuk menyelesaikan persoalan lingkungan justru berbahaya. Ini berpotensi menormalisasi kelalaian, melemahkan supremasi hukum, dan membuka ruang impunitas bagi pelaku usaha yang abai terhadap lingkungan.
Kita harus berhenti menganggap bahwa kerusakan lingkungan bisa diselesaikan hanya dengan “uang damai”. Lingkungan hidup adalah hak bersama, dan tanggung jawab atas kerusakannya tidak bisa ditebus hanya dengan kesepakatan lokal. Hukum harus tetap berjalan, dan pelaku usaha wajib memulihkan apa yang telah mereka rusak.
By : Reflin Liputo, Ketua LSM Lingkar Pemuda Gorontalo








