LENSA.TODAY, -(POHUWATO)- Ketidakadilan di lingkar tambang kembali menunjukkan wajah buruknya. Di balik gemerlap proyek tambang emas PT Pani Gold Project (PGP) yang digadang-gadang membawa kesejahteraan, tersimpan luka mendalam yang dirasakan oleh para pekerja lokal di Kabupaten Pohuwato.
Luka itu bernama diskriminasi, nepotisme, dan ketidakadilan sistemik yang sayangnya, diduga sengaja dipelihara oleh manajemen perusahaan.
Di tanah mereka sendiri, masyarakat Pohuwato kini justru terpinggirkan. Karyawan lokal hanya diberi peran sebagai buruh kasar, seolah tidak layak mengisi posisi strategis.
Sementara itu, pekerja dari luar daerah, khususnya yang berasal dari Manado, mendapat tempat istimewa. Bahkan, beberapa dari mereka yang belum mahir, justru langsung dipercayakan mengoperasikan alat berat berteknologi tinggi.
Di mana keadilan ketika anak-anak Pohuwato yang berpengalaman harus tunduk pada orang baru yang dibawa masuk hanya karena faktor kekerabatan?
Praktik nepotisme di tubuh PGP bukan sekadar isu, tapi kenyataan pahit yang disaksikan langsung oleh para karyawan. Nama-nama seperti PL alias Petrus, DM alias Denis dan VR alias Viktor diduga disebut aktif memainkan peran dalam meloloskan sanak saudara mereka masuk ke dalam struktur perusahaan. Salah satu contoh mencolok adalah AL alias Andre, putra dari PL, yang dipercaya mengoperasikan alat berat meski belum memiliki kemampuan memadai.
Tak berhenti di situ, suasana kerja di lokasi tambang mulai diwarnai arogansi, pengabaian instruksi, hingga kekerasan terbuka.
Dalam sebuah insiden yang mengerikan, seorang pengawas lokal nyaris menjadi korban percobaan pembunuhan menggunakan alat berat. Namun, pelaku yang berasal dari kubu “orang dalam” tetap dilindungi dan bebas bekerja. sebuah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan dan keselamatan kerja.
PGP kini tidak hanya sedang menggali emas di bumi Pohuwato, tapi juga sedang menggali kubur bagi kepercayaan masyarakat lokal.
Bentrok fisik antarpekerja pun tak terhindarkan. Luka dan trauma kini menyelimuti lingkungan kerja, sementara manajemen PGP memilih bungkam dan melindungi para pelaku, alih-alih menyelesaikan masalah dengan adil dan transparan.
Peringatan keras telah disampaikan oleh karyawan lokal, jika mereka terus-menerus diperlakukan sebagai warga kelas dua di tanah sendiri, jika para pelaku nepotisme dan pelindung kekerasan tetap dipertahankan di site, maka gelombang perlawanan akan datang. Tidak hanya dari karyawan lokal, tetapi dari masyarakat luas lingkar tambang yang telah lama diam dan menyimpan bara.
“Kami sudah cukup sabar. Ini bukan hanya soal kerja, ini soal martabat! Jika manajemen tidak berubah, maka aksi besar akan terjadi,” ungkap salah satu perwakilan karyawan lokal ke redaksi Lensa.today.
PGP tidak bisa lagi sembunyi di balik slogan pembangunan. Perusahaan ini harus berhenti memperlakukan masyarakat lokal sebagai pelengkap penderita. Jika PGP tidak segera bertindak adil, maka mereka layak dicap sebagai perusahaan penindas yang menyulut konflik sosial demi menjaga kepentingan segelintir elit internal.
Masyarakat Pohuwato tidak menolak pembangunan. Yang mereka tolak adalah penjajahan gaya baru. dimana warga setempat dipaksa menjadi buruh di tanah sendiri, sementara posisi dan hak mereka dirampas oleh sistem yang korup dan diskriminatif. (Arb)