LENSA.TODAY, POHUWATO – Dengan tegas ketua PW Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (PW IPNU) Provinsi Gorontalo Azis Hudodo menilai, bahwa taktik pengamanan oleh pihak kepolisian tidak maksimal, buktinya masa aksi saat melakukan unjuk rasa di 3 gedung yang berada di pusat ibu Kota Marisa, tidak dapat di amankan oleh pihak Kepolisian yang bertugas.
“Tim keamanan, meskipun memiliki tugas untuk menjaga ketertiban, mungkin perlu mengintrospeksi dan mengevaluasi apakah taktik mereka cukup efektif dalam mencegah massa aksi. Namun, Dugaan kuat terhadap keamanan apakah tidak mendapatkan perintah dari atasan?,”ungkap Azis penuh tanya, Jumat (22/09/2023).
Azis melihat bahwa, Dalam perjalanan tragis melalui kronologis, menyaksikan bagaimana sekumpulan individu dengan tuntutan sah yang mereka kemukakan, memilih jalan tindakan yang sangat kontraproduktif. Mereka berkumpul sebagai massa aksi yang terdiri dari ribuan orang, bersatu untuk mengadvokasi hak-hak mereka sebagai warga Pohuwato.
“Namun, dalam tindakan mereka, kita melihat bahwa kemarahan dan ketidakpuasan telah mengambil alih akal sehat. Mereka menghadapi kesempatan untuk dialog dengan pemerintah dan perusahaan pertambangan, tetapi justru memilih jalur anarkis yang menghancurkan segalanya,”ujarnya.
Ketua PW IPNU Azis Hudodo menilai, bahwa Perusahaan pertambangan, seharusnya memiliki komitmen untuk memenuhi hak-hak masyarakat setempat, dan telah gagal dalam memberikan solusi yang adil, yang pada gilirannya merangsang frustrasi masyarakat. Ini adalah contoh yang memprihatinkan tentang bagaimana bisnis terkadang menempatkan keuntungan di atas kemanusiaan.
“Dan pemerintah daerah, yang bertanggung jawab atas regulasi dan dialog dengan masyarakat, seharusnya memainkan peran yang lebih aktif dalam mencari penyelesaian yang adil dan berkelanjutan. Keterlambatan atau ketidakefektifan dalam menangani masalah ini juga harus dievaluasi,”bebernya.
Pada akhirnya kata Azis Hudodo, kita diingatkan bahwa, dalam situasi seperti ini, masing-masing pihak memiliki tanggung jawabnya sendiri. Tidak ada yang benar-benar menang dalam kekacauan ini. Semua yang tersisa adalah kerusakan fisik, emosi, dan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana kita sebagai masyarakat, dapat menemukan jalan keluar yang lebih bijak dan damai untuk mengejar perubahan yang inginkan untuk daerah Pohuwato tercinta.
“Sekali lagi “Dalam peristiwa ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah tim keamanan telah memberikan respons yang memadai dan bijaksana dalam menghadapi demonstrasi ini?,”tutur Azis.
Lebih jauh Azis menuturkan, Pada awalnya, massa aksi berkumpul dengan tuntutan yang sah, berharap untuk mengkomunikasikan perasaan ketidakpuasan mereka terhadap situasi pertambangan di Pohuwato. Namun, seiring berjalannya waktu, kita melihat bahwa tim keamanan mungkin telah mengambil pendekatan yang kurang efektif.
“Peristiwa ini mengingatkan kita akan pentingnya penilaian dan evaluasi yang cermat terhadap tindakan tim keamanan dalam situasi serupa untuk memastikan bahwa tugas mereka untuk menjaga ketertiban dan mencegah kerusuhan dapat dilakukan dengan lebih baik di masa depan,”imbuhnya.
Azis menguraikan, Kepolisian memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketertiban, namun pertanyaannya adalah, apakah taktik yang digunakan oleh mereka telah meminimalkan risiko dan tindakan anarkis?
Ketika massa aksi memaksa masuk ke area perusahaan, apakah ada langkah-langkah non-konfrontatif yang telah diambil untuk mencegah pengrusakan?
Ketika pengrusakan terjadi di Kantor Perusahaan PT. PETS dan PT. GSM, di mana kehadiran tim keamanan selama tindakan anarkis tersebut?
“Namun, yang lebih mengejutkan adalah ketika massa aksi tiba di Kantor Bupati Pohuwato, kita melihat bahwa tidak ada penekanan atau pencegahan yang dilakukan oleh pihak keamanan. Hal ini mengakibatkan pembakaran Kantor Bupati, yang seharusnya menjadi tugas utama tim keamanan untuk mencegahnya,”jelasnya lebih jauh.
Kemudian, ketika massa aksi menuju Kantor DPRD Kabupaten Pohuwato, terlihat tidak ada penghadangan atau pencegahan yang terlihat dari tim keamanan. Mereka seakan memberi ruang massa aksi untuk melakukan pengrusakan terhadap fasilitas pemerintah tanpa hambatan.
“Pertanyaan akhir yang perlu kita tanyakan adalah apakah tim keamanan telah mampu memberikan respons yang efektif dalam menghadapi situasi ini. kita tetap harus menilai apakah taktik dan strategi mereka telah sesuai dan efektif dalam melindungi fasilitas negara dan mengendalikan massa aksi,”urai Azis lebih jauh.
Sementara itu Kapolda Gorontalo Irjen Pol Dr. Angesta Romano Yoyol M.M lewat konfrensi persnya pada kamis (22/09/2023). Menjelaskan bahwa jumlah masa dengan pihak kepolisian saat itu sangat jauh berbeda dari segi jumlahnya.
“Karena kita ada 12 titik yang kita jaga dan dengan jumlah polisi hanya 30 orang dan masa aksi yang sudah sekian ribu adanya maka ini sangat tidak berimbang,”jelas Kapolda A.R. Yoyol. (Mhd)