LENSA.TODAY, –(KABGOR) – Begini penjelasan Dosen Universitas Gorontalo Safrudin Tolinggi, SKM., M.KL. tentang pengelolaan Limbah medis B3 serta proses perijinan buat para penghasil Limbah B3, Jumat (20/05/2022).
Sebelum benar-benar dibuang atau diolah, limbah-limbah B3 wajib ditampung dulu di sebuah tempat yang dikenal dengan TPS (Tempat Penyimpanan Sementara).
“kenapa.? Karna ada sejumlah ketentuan undang-undang yang sengaja dibuat pemerintah, secara tidak langsung membuat para penghasil limbah B3 berkewajiban untuk mengolah limbahnya dengan benar. Tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu UU no 32 tahun 2009,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa, TPS diwajibkan untuk mereka yang berperan dalam menghasilkan limbah B3. Hal tersebut guna terbebas dari tuntutan hukum yang berat.
“Hal ini sudah merupakan ketentuan sesuai PP 38 tahun 2007, Kepdal 01 tahun 1995 serta peraturan pemerintah no 30 tahun 2009. Adanya ketentuan tersebut membuat perizinan pembuatan TPS begitu penting,” kata Safrudin Tolinggi.
“Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, dan ada temuan dari pihak DLHK dan Dinkes maka ada rekomendasi teguran dan apabila teguran tersebut tidak diindahkan pasti proses hukum,” Lanjutnya.
Safrudin pun mengatakan, Pembuatan TPS limbah B3 sendiri tidak bisa asal-asalan, entah dari segi tempat yang sesuai serta pembangunannya, mengingat jenis limbah ini cukup berbahaya, maka penyimpanannya pun perlu perhatian khusus.
“Dengan disimpan terlebih dahulu, maka setidaknya dapat meminimalisir pencemaran lingkungan akibat limbah B3, Langkah untuk menyimpan sementara limbah B3 menjadi suatu langkah perbaikan kualitas lingkungan,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia memgatakan, lokasi TPS ini perlu dicari yang memenuhi kriteria tertentu, tempat harus bebas dari resiko banjir atau paling tidak tidak rawan bencana alam, Lokasinya harus berada dalam jangkauan semua pihak yang turut andil dalam menghasilkan limbah B3.
“Bangunan harus memiliki desain konstruksi yang bisa melindungi semua limbah B3 baik dari hujan maupun sinar matahari langsung. Harus memiliki penerangan dan ventilasi yang cukup serta mempunyai saluran drainase serta bak penampung yang layak dan bangunan yang dipakai minimal harus memiliki ukuran 4m x 5m. Dilengkapi dengan tembok bertulang tebal minim 15 cm, jika menggunakan tembok bata merah minim punya ketebalan 23 cm,” jelas Safrudin.
Untuk Rumah Sakit Umum MM Dunda Limboto melanggar aturan dengan tidak ada TPS limbah B3, dirinya menegaskan bahwa hal tersebut melanggar aturan dan bisa diproses hukum.
Dirinya meminta kepada Dinas DLHK Kabupaten Gorontalo dan Dinas Kesehatan untuk lebih meningkatkan pengawasan yang lebih ketat lagi.
“Apabila ada temuan dari DLHK dan Dinkes maka ada rekomendasi teguran dan apabila teguran tersebut tidak diindahkan pasti proses hukum,” tandasnya. (Arb)