LENSA.TODAY, -(PEMILU)- Polemik sistem pemilu terbuka maupun tertutup menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat pasca adanya uji materi di Mahkamah Konsitusi atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh Pemohon Riyanto Cs. yang diregister oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara No.114/PUU-XX/2022.
Aktifis forum demokrasi Gorontalo, Umar Karim yang sering di sapa UK ini, ketika dimintai tanggapannya atas polemik tersebut dengan tegas dirinya mengatakan MK jangan jadi bagian dari pecundang demokrasi di Negara ini.
” Demokrasi yang ada sekarang adalah lahir dari genangan darah reformasi, sehingga wajiblah bagi MK menjadikan pertimbangan sejarah itu dalam putusannya nanti terkait gugatan atas sistem Pemilu Proporsional Terbuka,” kata UK, sambil mempersilahkan awak media melihat pernyataanya dalam sebuah dialog publik 23 Mei di chanel yutube FDG.
Dalam dialog itu, Umar Karim menjelaskan bahwa secara terang menderang dalam Pasal 22 huruf E ayat (2) UUD 1945 disebutkan Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden dan DPRD sehingga yang dipilih oleh Pemilu di TPS adalah calon anggota DPR dan DPRD bukan memilih Partai.
” Jika dalam Pemilu nanti, surat suara tidak terdapat nama calon yang dipilih oleh Pemilih atau dalam surat suara hanya mencantumkan partai tanpa terdapat calon, maka cara seperti itu dipastikan melanggar konstitusi,” ucap UK.
Bahkan, Umar Karim mengatakan soal argumentasi Pemohon Uji Materi di MK, bahwa Pemilu Proporsional Terbuka cenderung Individulis dan liberalis, menurut UK hal tersebut wajar sebab setiap calon secara individu peroangan saling bersaing karena tidak akan efektif jika kemudian calon tampil dalam karakter yang sama yang dapat menyebabkan pemilih tak dapat membedakan kalayakan setiap calon.
” Persaingan bukan saja antar calon yang berbeda partai akan tetapi antar calon sesama partai pun salin bersaing, keadaan ini kemudian yang menjadikan situasinya seakan-akan persaingan sangat bebas tanpa batas,” ungkap Mantan Anggota DPRD Kabgor yang dijuliki Kalajengking Menara ini.
Bahkan, terkait pendapat dalam Pemilu Proporsional Terbuka mndorong calon menjadi Kanibal, dirinya menyebutkan hal tersebut memang pantas terjadi.
” Hal tersebut sudah pantas terjadi, dengan calon saling menyerang, maka kelemahan calon akan diketahui oleh Pemilih. sehingga dengan itu pemilih tidak akan memilih calon yang yang banyak kekurangannya, yang pada ujungnya akan melahirkan anggota DPR yang lebih berklualitas,” imbuh Politisi Partai Nasdem.
Selain itu juga, UK mengatakan bahwa soal kemungkinan putusan MK sistem Pemilu tidak lagi Proporsional terbuka, tidak lantas dipahami bahwa Pemilu kemudian akan menggunakan Sisitem Proporsional Tertutup. Ingat, kewenangan MK dalam menguji UU hanyalah mmemutuskan ketentuan tertentu dalam UU tidak berlaku dan MK tidak bisa membuat norma hukum baru.
” Ibarat Tip X, MK hanya men-Tip X pasal atau ayat. Selanjutnya yang membuat ketentuan baru sebagai pengganti pasal atau ayat yang di-Tip X oleh MK adalah lembaga pembentuk UU, yakni Presiden dan DPR,” urai Umar Karim.
” Sehingga ketika system proporsional terbuka dinyatakan oleh MK tidak berlaku, bisa jadi Presiden dan DPR melalui UU tidak menetapkan system pemilu menjadi proporsional tertutup akan tetapi menggunakan system pemilu lainnya mengingat dari sisi teori begitu banyak varian pemilu, misalnya system distrik,” sambung Umar Karim.
Umar Karim juga mengingatkan bahwa Pemilu dengan sistem tertutup adalah tidak support terhadap demokrasi dibuktikan dengan kecenderungan setiap Negera berkarakter sosial komunis selalu saja menerapkan system Pemilu tertutup.
” Umar Karim mencontohkan kenapa Presiden China Xi Jinping amat kuat pengarunhnya terhadap parlemen China karena parlemen china dipilih menggunakan system pemilihan tertutup. Akibatnya demokrasi di China deadlock, rakyatpun mudah dibungkam,” jelas Aktivis Forum Demokrasi ini.
Sebenarnya masalah utama selama ini adalah soal money politik dalam Pemilu.
” Penyebab money politik bukan terletak pada persoalan system Pemilu proporisonal terbuka atau tetutup akan teapi lebih pada kultur pemilih. Rendahnya pemahaman pemilih atas esensi demokrasi campur aduk dengan ketidakmapanan ekonomi membuat pemilih menjual suaranya dengan uang receh,” tutur Umar Karim.
Terakhir, Umar Karim mengungkapkan pendapatnya bahwa cara efektif mengatasi persoalan ini adalah dengan penguatan tugas fungsi Bawaslu. Sebaiknya Bawaslu bukan lagi dijadikan sekedar kolektor pelanggaran Pemilu, perlu adanya penambahan kewenangan Bawaslu, seperti penambahan kewenangan penuntutan agar Bawaslu lebih “bergigi”, tidak mandul seperti selama ini dan penyelesaian kasus Pemilu pun lebih cepat dan tidak berbelit.
” Jadi permasalahanya di sana, bukan di sini,” pungkas Umar Karim. (Arb)