LENSA.TODAY, -(OPINI)- Parpol menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak istimewa untuk melakukan proses rekrutmen dimulai dari proses penjaringan, seleksi, pencalonan dan pendaftaran calon kepala daerah. Pertanyaannya, apakah internal parpol cukup ‘sehat’ melahirkan pemimpin daerah?
Dalam praktiknya pencalonan lewat parpol sering terdistorsi oleh praktik politik yang bukan saja tidak mengakomodasi aspirasi publik dalam penentuan calon, namun juga terjadi manipulasi aspirasi atas nama politik uang. Pencalonan melalui parpol bukan lagi menjadi ajang kontestasi kapasitas dan kapabilitas, tetapi lebih pada ajang pertarungan modal/kapital.
Saat ini, para bakal calon saling berburuh untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik sebagai modal dalam mendaftarkan diri sebagai peserta pilkada serentak 2024.
Parahnya, Rekomendasi yang dikeluarkan oleh partai politik tidak bersifat final dan mengikat, akan tetapi rekomendasi yang dikeluarkan oleh partai politik mencantumkan berbagai macam tugas bagi nama yang telah direkomendasikan.
Pertanyaannya adalah ketika orang yang direkomendasikan oleh partai politik sebagai bakal calon kepala daerah tidak memenuhi berbagai macam tugas yang diberikan oleh partai, akankah rekomendasi itu bisa berubah? ataukah para elit partai politik akan mengganti rekomendasi tersebut?
Jika demikian, rekomendasi yang saat ini telah dikantongi oleh para bakal calon kepala daerah bisa disebut hanya sebatas untuk memenuhi hasrat politik para elit-elit partai politik dalam menyenangkan hati para bakal calon.
Padahal, kita ketahui bersama bahwa partai politik sebagai pilar demorkasi, seharusnya menjalankan fungsinya sebagai sumber kepemimpinan, yaitu melakukan kaderisasi dan pembinaan karier politik para kader sebagai pemimpin rakyat sehingga calon yang diajukan seharusnya adalah yang terbaik.
Oligarki elit parpol yang memutuskan untuk mencalonkan cakada dari daerah lain yang bukan berasal dari dari daerahnya akan melemahkan kaderisasi, selain itu juga melemahkan kepengurusan partai di daerah secara perlahan. Akibatnya masyarakat dan kader-kader organik partai menjadi enggan untuk bergabung dan setengah hati mengurus partai, karena kaderisasi yang menjadi modalitas dalam rekrutmen menjadi tidak bermakna.
Puncaknya masyarakat semakin apatis terhadap partai politik, karena sudah kehilangan ruh demokrasi yaitu “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, partai hanya berorientasi sekedar menang pilkada dan segelintir elit yang akan merasakan nikmatnya.
Dampak lebih jauh dari oligarki elit parpol dan tidak adanya keterbukaan dalam proses seleksi calon adalah menjamurnya praktek politik uang. Realitas ini tampak dari pengakuan beberapa bakal calon bahwa faktor terpenting untuk mendapatkan “perahu” adalah kemampuan finansial kandidat untuk berbagai jenis pengeluaran mulai dari biaya “tiket” ke gabungan partai pengusung, biaya mobilisasi massa, biaya saksi dan operasional lainnya.
Secercah harapan mengenai keterbukaan proses pencalonan dan kesempatan masyarakat memberikan tanggapan dan masukan terhadapat bakal calon sempat ada pada saat diterbitkan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada, dijelaskan dalam Pasal 37 tentang Pendafaran Bakal Calon dan Pasal 38 tentang Uji Public.
Namun harapan itu kandas karena pasal tersebut dihapus sejalan dengan terbitnya UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Parpol sebagai benteng pertama demokrasi telah jebol, maka masyarakat sebagai benteng terakhir dituntut harus cerdas dalam menentukan pasangan calon kepala daerahnya.
Penulis : Redaksi Lensa.Today