LENSA.TODAY, -(OPINI)- Maraknya gejolak ditingkatan grassroot akhir-akhir ini membuat masyarakat bingung dan ketakutan akan kerusuhan yang lebih besar. Kondisi seperti ini mengakibatkan beberapa sektor menjadi terganggu, seperti putaran ekonomi, politik, dan keamanan daerah menjadi terguncang.
Dari segi ekonomi, banyak UMKM terdampak dan mengaku tak bisa lagi menjual dan mengaku pendapatannya menurun sangat drastis ketika memaksakan membuka usahanya karna takut akan bentrok-bentrok susulan.
Dari segi politik, timbul banyak asumsi liar di tengah-tengah masyarakat terkait rentetan kericuhan yang terjadi. Asumsi ini yang perlahan-lahan menjadikan masyarakat semakin terkikis kepercayaannya terhadap lembaga negara.
Dari segi Keamanan daerah, akibat dari adanya gejolak sosial, setiap forkopimda dinilai sekan-akan abai terhadap permasalahan yang terjadi, bahkan ada yang dinilai menjadi dalang akan kerusuhan-kerusuhan tersebut melalui cipta-kondisi. Hal ini ditakutkan menjadi bola salju yang besar sampai ditingkatan nasional.
Beberapa daerah yang dimaksud antara lain :
– Tragedi Rempang (Batam) bentrok antara masyarakat dan pihak keamanan yang tejadi akibat polemik soal relokasi masyarakat di kawasan industri.
– Tragedi Seruyan (Kalimantan Tengah) bentrok antara masyarakat dan pihak keamanan yang terjadi juga diakibatkan oleh keresahan masyarakat atas aktivitas PT HMBP dan PT BJAP.
– Tragedi Pohuwato (Gorontalo) bentrok antara masyarakat dan pihak keamanan juga buntut dari kekesalan masyarakat yang meminta ganti rugi atas Lubang tambang mereka yang harus diserahkan kepihak perusahaan karna masuk wilayah Tambang PT PETS.
Berbagai hal yang diurai diatas adalah rentetan kejadian yang berdampak akibat dari lemahnya pengawasan disektor investasi terlibih dibidang mineral dan batubara yang sejak dulu menjadi masalah yang riskan untuk dapat diselesaikan.
Negara seolah-olah dipaksa untuk tunduk dan mengikuti keinginan pihak investor agar mau berinvestasi di Indonesia. Terlebih belum rampungnya revisi Undang-undang 22 tahun 2001 tentang Minerba yang sampai hari ini pembahasannya masih mandek dimeja DPR.
Sementara itu Undang-undang 11 nomor 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) dianggao syarat akan kepentingan dan tidak berpihak pada masyarakat kelas pekerja. Investasi tentu bisa berdampak baik jika pengelolaannya pun diatur dengan baik.
Sistem perizinan terpusat menjadikan daerah sering kali kalang kabut dan bingung untuk meredam kemarahan masyarakat karna dipangkasnya wewenang daerah dalam campur tangan investasi.
Sehingga melalui hal ini Rahmat Giffary Bestamin selaku Ketua Bidang Sumber Daya Alam dan Energi meminta kepada presiden untuk dapat mengevaluasi kinerja dari Menteri ESDM (Arifin Tasrif) dan Menteri Investasi (Bahlil Lahadalia). Bahkan jika terbukti melakukan hal-hal diluar prosedur yang berlaku Bapak Jokowi sebagai presidan harus mencopot para menteri yang bersangkutan.
Harapan kedepannya adalah, presiden menempatkan orang-orang yang kompeten dalam bidang yang digelutinya, sehingga suasana seperti ini tidak perlu dirasakan kembali oleh kita semua. (Ecan)