LENSA.TODAY, -(OPINI)- Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter kuat, bersumber dari nilai-nilai yang digali dari budaya masyarakatnya. Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan di era global, namun menjadi kekuatan transformasional yang luar biasa dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai modal keunggulan kompetetif dan komparatif suatu bangsa.
Penggalian nilai-nilai kearifan lokal merupakan langkah strategis dalam upaya membangun karakter bangsa.
Prosesi penobatan kepemimpinan Gorontalo ‘Pulanga’ merupakan filosofi yang mengandung dimensi karakter secara komprehensif. ‘Pulanga’ bermakna selalu mengupayakan peningkatan peran kepemimpinan lokal untuk kesejahteraan rakyat dan mendorong terciptanya sikap serta perilaku hidup individu yang menekankan keselarasan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Allah dalam melaksanakan aktivitas hidup dan kehidupan.
Pulanga merupakan upacara adat masyarakat Gorontalo yang berhubungan dengan acara penobatan. Pulanga ini berupa pemberian gelar adat yang dilakukan kepada orang yang masih hidup, biasanya diberikan kepada mereka yang menduduki jabatan penting mulai dari tingkat Kecamatan, Daerah bahkan Provinsi.
Di samping itu,terdapat pula gelar yang diberikan kepada orang-orang yang sudah meninggal yang di sebut dengan Gara’i. Pulanga merupakan upacara adat yang resmi yaitu pemberian atau penganugrahan titel atau gelar jabatan.
Pulanga diberikan kepada seorang pejabat dalam lingkungan pemerintahan, mulai dari Gubernur, Bupati/Walikota.
Dalam pelaksanaan upacara adat ini semua pejabat dalam lingkungan pemerintahan harus hadir tak terkecuali kepala desa atau ayahanda.
Pulanga pada hakikatnya mengukur seseorang dalam jabatannya sebagai sumber pola anutan dalam setiap aktivitasnya (o oliyo o) sebagai pemimpin yang dipercaya rakyat.
Pemberian pulanga itu sendiri mengandung tanggung jawab yang berat bagi yang bersangkutan, bukan saja di dunia tapi juga di akhirat kelak.
Sangat dianjurkan agar seorang pemimpin itu adalah juga agamawan agar pertimbangan dan kebijakan seimbang antara akal dan hukum Islam.
Karena luasnya wilayah kekuasaan seorang penguasa (olongia) dan agar tidak berbuat sewenang-wenang maka setiap pelantikan dikukuhkan dengan kata-kata bijak atau tujai, yang bunyinya sebagai berikut :
Tulu-tulu lo ito Eya. (Api-api milik tuanku)
Dupoto, dupoto lo ito Eya. (Angin-angin milik tuanku).
Tawu, tawu lo ito Eya. Rakyat-rakyat milik tuanku Bo dia poluliya hilawo, Eyanggu. (Tapi jangan sewenang-wenang, tuanku).
Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan tidak terbatas, punya wewenang tapi tidak sewenang-wenang. Kewenangan ini disebut dalam bahasa Gorontalo Datahu Lo Huntu huidu artinya Dataran Menjunjung Gunung yang mengarah pada kekuasaan yang otoriter yaitu semuanya tunduk kepada penguasa dan segala keputusannya didukung oleh adat.
Pada tahun 1673, masa pemerintahan Raja Eyato konsep Datahu Lo Huntu Huidu akhirnya diubah dengan difungsikannya Bantayo Poboide (Badan Permusyawaratan) maka kekuasaan diberikan kepada tuango lipu (rakyat) dimana wakil-wakil rakyat duduk sebagai anggota Bantayo Poboide menjalankan fungsi control terhadap penguasa, yang akhirnya menjalankan fungsi demokratis.
Olongia (raja) sebagai pemimpin eksekutif menjalankan semua keputusan Bantayo Poboide sebagai badan legislatif untuk mencapai kesejahteraan rakyat (Molimehu Buala).
Gelar sapaan adat pulanga tidak sembarangan diberikan kepada seseorang, artinya tidak semua orang dapat dipulanga. Pemberian gelar sapaan berdasarkan pulanga hanya khusus diberikan kepada golongan pemerintah, pemangku adat, agamawan, dan para pengaman prosesi peradatan.
Adapun sistem pemberian gelar sapaan pulanga mencakup tahapan-tahapan berikut ini yang dalam istilah adat disebut dengan istilah Pohutu Momulanga.
Pelaksanaan Pohutu Momulanga berhubungan dengan beberapa faktor dan persyaratan yang mengacu kepada :
– Yang berhak menerima.
– Waktu pelaksanaan momulanga.
– Tempat pelaksanaan
– Pelaksana kegiatan
– Perlengkapan yang diperlukan.
– Prosesi pelaksanaan pohutu momulanga.
Namun, dalam pelaksanaan pemberian gelar adat terdapat 11 larangan adat yang harus ditaati oleh calon penerima adat tersebut.
Adapun 11 Larangan Adat sebagai berikut :
1. TOTALA LAMBANGO. seperti Kejahatan Melanggar Keamanan Negeri, Keamanan Raja, Melanggar Asusila, Membunuh, Mencuri Dan Lain-Lain.
2. TOTALA BAYALO. seperti Penghinaan, Fitnah, dan Lain-lain.
3. TOTALA BUTOLA. seperti Melawan Perintah Pejabat, Melawan Perintah Menanam Padi, Membersihkan Kebun.
4. TOTALA HUNTALA. seperti Sumpah Palsu, Melanggar Asusila, Pemerasan dan Lain-Lain.
5. TOTALA LUMUDU. seperti Mencemarkan Nama Pejabat Atau Penghinaan Yang Tak Langsung.
6. TOTALA HUTA-HUTANGA. seperti Membuka Rahasia Orang, Merusak Tanaman Sendiri, Perceraian dan Lain-lain.
7. TOTALA BALANGO. seperti Perkosaan, Melanggar Hak Orang dan Lain-lain.
8. TOTALA BALALO. seperti Selalu Suka Ribut, Berkata Tidak Sopan, Dengki Terhadap Sesama, Gila Hormat dan Lain-lain.
9. TOTALA NUNGO. seperti Mengambil Ternak Tanaman Orang Lain Dalam Perjamuan.
10. TOTALA LUMBULO. seperti Termasuk Kesalahan Yang Tidak Disengaja Yang Bersifat Ringan.
11. TOTALA BUNULO. seperti Sengaja Berbuat Kesalahan.
Selain itu juga, Dimensi pendidikan karakter yang perlu di kembangkan dalam pesan ’pulanga’ ini adalah bahwa apapun bentuk kekuasaan yang dimiliki, termasuk Raja/Kepala Daerah adalah amanah dari rakyat, dan wajib untuk dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban dapat mewujud dalam tutur kata, sikap dan niat. Petuah (Tujai) lainnya menegaskan ”Huhutu lo ta to ti taato. Bo tae-tae ti huhutu lo ta ti bawa’ (tindakan orang-orang di atas/penguasa berlandaskan perbuatan orang-orang di bawah/rakyat). Perbuatan yang ditunjukan oleh pemimpin di berbagai lini (pemerintah, tokoh agama, perempuan dan adat) adalah refleksi dari perilaku rakyat/masyarakat atau yang di pimpinnya.
Pesan universal dikandung pepatah ini adalah pentingnya membangun karakter masyarakat, bawahan sebab harapan adanya kepemimpinan yang berkarakter akan dapat di wujudkan jika masyarakat juga berkarakter. (***)