LENSA.TODAY, -(OPINI)- Uang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya membutuhkan uang. Pernyataan tersebut menjadi falsafah hidup yang merasuki seluruh akivitas politisi kita. Uang tidak hanya menjadi alat tukar barang, tetapi uang juga telah mampu mengontrol totalitas kehidupan manusia dalam segala ruang.
Dalam politik, uang bagian dari kekuatan yang dapat mengantarkan kemenangan. Itulah yang kini merasuki segala institusi politik negeri ini.
Uang dan kekuasaan ibarat dua mata uang, tidak terpisahkan, tetapi saling menopang satu sama lain. Politik membutuhkan uang untuk mengatrol kemenangan, sementara uang membutuhkan politik sebagai kendaraan untuk memperoleh keuntungan (more money).
Dalam bahasa berbeda, penguasa membutuhkan pengusaha dan pengusaha membutuhkan penguasa. Sinergisitas keduanya akan memunculkan kekuatan luar biasa. Dalam percaturan politik Indonesia, tren take and give antara uang dan kekuasaan atau antara penguasa dan pengusaha begitu terlihat.
Karena itu, seorang yang ingin menjadi penguasa, dia harus mengeluarkan sekian triliun uang rupiah dari koceknya. Dengan demikian, hanya mereka yang berduit yang dapat berkompetisi merebut kemenangan. Tanpa uang, kekuasaan hanya menjadi angan yang mengawang.
Selain problem sistem politik, pergeseran sosial budaya masyarakat merupakan satu faktor yang membuka kans merapatnya kekuasaan kepada uang. Misalnya, kondisi masyarkat yang memuja banalitas dan artifisialitas, memaksa para politisi berpromosi seperti iklan. Sementara iklan membutuhkan biaya. Dus, tidak heran jika Amien Rais menerima dana DKP hanya untuk berkampanye di depan layar televisi.
Perselingkuhan uang dan kekuasaan, diakui atau tidak, merupakan bagian dari problem demokrasi yang belum dapat dieliminasi hingga saat ini. Di Amerika Serikat, uanglah yang menentukan kemenangan. Amy dan David Goodman (2004), misalnya, di dalam bukunya The Exception to The Rulers, membongkar konspirasi antara perusahaan minyak dengan George W. Bush untuk merebut kursi presiden di AS.
Pada lain sisi, Bush membutuhkan konglomerat untuk meraih kemenangan yang otomatis juga mendatangkan keuntungan (more money).
Begitu juga yang terjadi di negeri ini. Keterlibatan sejumlah pemimpin kita dalam kasus DKP merupakan bagian kecil dari sekian gundukan perselingkuhan kekuasaan. Dus, bisa saja penguasa memiliki kekuasaan yang tiada tara, tetapi ia tidak akan mempunyai kekuatan ketika berhadapan dengan uang.
Soeharto boleh saja tampak perkasa (baca: otoroter) di hadapan rakyatnya, tetapi keperkasaan itu luluh di hadapan gelimang harta. Dengan hak interpelasi, DPR boleh perkasa di hadapan eksekutif. Tapi, jangan harap mereka bersuara ketika uang sudah menginterupsi.
Logika dan sistem yang demikian barang tentu akan merontokkan segala-galanya. Kebenaran akan diukur seberapa jauh uang dapat diperoleh. Gerak langkah kekuasaan pun menjadi liar.
Parahnya, kenyataan tersebut semakin diperkuat oleh sistem perpolitikan kita. Kepartaian dalam demokrasi memaksa setiap orang yang bertarung di gelanggang politik untuk menyedekahkan sekian uangnya agar mendapat restu partai dan menempati urutan utama.
Syahdan, lengkap sudah kepungan uang dalam bahasa politik kita. Dengan demikian, ketika menjadi DPR, mereka mengabdikan diri pada uang, bukan kepada rakyat. Tidak heran jika DPR minta naik gaji sekalipun rakyat bawah dalam kondisi kelaparan.
Akhirnya, mereka yang tidak memiliki uang akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Sebab, dengan begitulah dia akan mendapatkan kemenangan. Di sinilah ruang dan peluang penyimpangan uang yang semestinya milik publik (res publica), justru digunakan untuk kepuasan pribadi (res privata), acap terjadi.
Seperti terlihat pada kasus DKP yang dijadikan modal berkampanye pada Pemilu 2004 lalu. Para politisi kita terjepit pada posisi hasrat berkuasa yang tidak terbendung, tetapi kemampuan modal sangat minim. Sementara, meraih kekuasaan membutuhkan uang yang banyak. Dus, menilap uang rakyat pun jadi solusi.
Karena itu, mengembalikan tanggung jawab perbaikan sepenuhnya pada individu pun belum tentu dapat dilakukan. Perlu ada perombakan sistem secara besar-besaran. Sinergi sistem dengan perbaikan individu para dewan akan menciptakan nuansa politik yang benar-benar berpijak pada suara nurani, bukan lagi pada keinginan pada money. Mengubah aturan politik dan menindak kejahatan korupsi mereka merupakan salah satu cara.
Bagaimanapun keterlibatan sejumlah anggota DPR dan politisi lain dalam masalah dana DKP merupakan contoh kecil dari keterbudakan para pemimpin kita oleh uang dan kekuasaan. Semuanya dapat dieliminasi jika ditopang dengan perombakan sistem serta pembenahan moral individu secara integral.
Penulis : Agus Hilman